BANDUNG JAWA BARAT - Melalui Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2012 telah ditetapkan tanggal 20 April sebagai Hari Konsumen Nasional (Harkonas). Penetapan tanggal 20 April didasarkan pada tanggal disahkan/diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) (disahkan tanggal 20 April 1999, diundangkan tanggal 20 April 2020), dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22. Dengan kata lain, 20 April 1999 merupakan kesepakatan seluruh bangsa Indonesia bahwa semua konsumen Indonesia harus memperoleh perlindungan secara hukum.
Sebelumnya, tanggal 15 Maret seluruh dunia memperingati hari Hak Konsumen Dunia yang pertama kali disuarakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962 melalui "A special Message for the Protection of Consumer Interest" yang lebih dikenal dengan "Declaration of Consumer Right" memuat "empat hak dasar konsumen" (the four consumer basic rights), yakni Hak untuk mendapat/memperoleh keamanan (the right to safety); Hak untuk memilih (the right to choose); Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed); dan Hak untuk didengarkan (right to be heard).
Hak konsumen telah diatur baik secara nasional maupun diakui secara internasional. Konsumen sendiri adalah setiap orang, mulai jabang bayi sampai manula, termasuk pelaku usaha adalah konsumen.
Konsumen tidak mengenal usia, gender, profesi, jabatan, status sosial dll. Semua rakyat adalah konsumen atau konsumen adalah seluruh rakyat. Konsumen menurut UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Penetapan hari konsumen baik secara nasional maupun internasional sendiri sebagai bentuk apresiasi terhadap konsumen dan ditujukan agar semakin banyak pihak terutama negara, yang termotivasi membangun atau mewujudkan suatu negara kesejahteraan (welfare state) yang berkadilan.
Ideologi negara kesejahteraan menjadi landasan kedudukan dan fungsi pemerintah (bestuursfunctie), untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang ‘’adil dan makmur’’ tertuang dalam Alinea kedua pembukaan UUD NKRI 1945, yakni melalui dijaminnya ketersediaan dan keterjangkauan harga atas kebutuhan pokok.
Kemelut minyak goreng yang berkepanjangan dan terakhir dengan dicabutnya aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan yang penentuan harganya dikembalikan kepada mekanisme pasar, dan HET minyak goreng curah 14 ribu per liter kenyataannya harganya lebih tinggi bahkan tidak ada dipasaran, hingga membuat konsumen minyak goreng terusik haknya.
Sementara memasuki bulan puasa ini menyusul kenaikan/kelangkaan komoditas lain seperti solar, gula, terigu, bawang, tahu/tempe, pertamax, gas 12 kg, tarip jalan tol dll, kemudian Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan berikutnya akan naik harga pertalite, gas, dan listrik. Semua ini tentu harus ditanggung oleh rakyat sebagai konsumen pada masa pandemi ini.
Dalam penanganan pandemi Covid-19 Indonesia telah melakukan kekeliruan karena lebih mengedepankan ekonomi/mengistimewakan investasi, yang seharusnya fokus kepada penanganan kesehatan. Anggaran untuk penanggulangan pandemi yang jumlahnya cukup pantastis, lebih disalurkan untuk sektor ekonomi/subsidi bagi dunia usaha. Sementara lambatnya penanganan Covid-19, membuat pemulihan ekonomi Indonesia relatif lebih lambat ketimbang negara lain. Di sisi lain, ada bantuan sosial (bansos) pandemi yang merupakan hak rakyat/konsumen dikorupsi. Bisnis PCR, obat dan alat perlengkapan pencegahan covid dengan harga tinggi yang melibatkan pejabat negara.
Baca juga:
Pasangan Muda Mudi Mesum Terekam CCTV
|
Kebijakan-kebijakan lain yang dirasakan melanggar hak-hak rakyat sebagai konsumen diantaranya kasus Peraturan Presiden ttg kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibatalkan MA.
Kasus Permenaker yg dicabut soal masa waktu berlakunya Jaminan Hari Tua. Persyaratan kartu BPJS Kesehatan terkait pelayanan publik (mengurus SIM, STNK, IMB, ibadah haji dll.).
Sementara, pembayar PPN, pemakai minyak goreng, BBM, listrik, gas, pasien tes PCR/swab, peserta BPJS Kesehatan, peserta Jaminan Hari Tua, pengguna jalan tol, masyarakat penerima bansos dll adalah konsumen.
Kompleksitas persoalan konsumen (perlindungan konsumen) di Indonesia, secara kongkrit selain terkait dengan perilaku pelaku usaha, juga berhadapan dengan keterlibatan oknum pejabat negara dan kebijakan negara itu sendiri.
Dari empat hak dasar konsumen yang diatur dalam Declaration of Consumer Right, tiga hak yang signifikan dengan suasana saat ini: Pertama, Hak untuk Memperoleh Informasi (The Right to Be Informed). Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan komprehensif tentang ketersediaan dan harga suatu produk barang/jasa (komoditas) yang dibeli atau dikonsumsi. Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bisa mengetahui bagaimana kondisi barang/jasa yang akan dibeli atau dikonsumsi.
Kedua, Hak untuk Memilih (The Right to Choose). Setiap konsumen berhak memilih produk barang/jasa (komoditas) dengan harga yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan untuk memilih (terpaksa karena tidak ada pilihan lain) suatu produk yang mungkin bisa merugikan hak - haknya. Ia harus dalam keadaan atau kondisi yang bebas dalam menentukan pilihannya terhadap barang/jasa yang akan ia konsumsi.
Terakhir, Hak untuk Didengarkan (The Right to Be Heard). Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh negara atau pemerinrah.
Konsepsi negara hukum kesejahteraan merupakan landasan pemikiran dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan dan dalam negara hukum kesejahteraan negara atau pemerintah adalah pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Maka dari itu, agar pemerintah tidak dianggap melanggar Declaration of Consumer Right, saat ini prioritas negara harus fokus kepada perwujudan kesejahteraan rakyat yakni melalui perbaikan hak-hak konsumen khususnya dalam memperoleh kebutuhan pokok sehari-hari. (***)
By Dr. Firman T Endipradja, Wakil Ketua Komisi II bidang Komunikasi dan Edukasi BPKN RI/Dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung.